Thursday, March 18, 2010

Cinderella & The Black Bra



 Sial. Lagi-lagi sial.  Cinderella mengutuk dirinya sendiri. Ia benci membiarkan dirinya terjebak bersama saudari-saudarinya yang brengsek. Dan tentunya sang Ibu Tiri yang juga seorang mucikari. Hello, ini sudah tahun 2010, memangnya masih ada cerita Cinderella ya? Ia bertanya dalam hati dan ketika ia melihat dirinya di cermin. Shit! Ini nyata.  Ia mencubit pipinya. Aww, sakit!

Baru 5 detik ia menikmati kemewahan mencaci dirinya sendiri. Tiba-tiba… “Cin…bawa bir-bir itu kesini!”, suara parau yang khas akibat kebanyakan merokok dari sang Ibu Tiri melengking menggema dan memantul dari setiap dinding rumah itu, dan tujuannya hanya satu, masuk ke telinga Cinderella.

Cinderella menggerutu, menggumam sembari membawa sekerat bir ke ruang judi tempat favorit sang Ibu Tiri memperdaya lelaki-lelaki hidung belang yang bodoh itu. Entah bodoh, entah terlalu mabuk. Aku pun tak peduli. Aku meletakkan sekerat bir itu di meja, ketika sebuah tangan penuh bulu-bulu kasar, keriting dan lebat berusaha memelukku. Untungnya sang Ibu Tiri segera menghardik pria itu dan menyerang ego kelelakiannya. “Hey tua bangka, seleramu ternyata seorang budak hah?!”. Pria itu mendengus di tengkukku dan tercium semilir bau busuk alkohol bercampur rokok. Dalam hati aku berterima kasih pada ibu tiriku dan segera kembali ke istanaku. Ruang bawah tanah.

Aku bergegas melewati kamar saudari tiriku yang tertua, Diana. Terdengar jelas suara desahannya dari dalam kamar. Dasar jalang!  Entah itu pria atau mungkin wanita keberapa yang memuaskan nafsunya untuk hari ini. Dia tidak peduli, pria atau wanita, yang penting mereka membawanya ke puncak surga dunia. Mendengar hal itu, membuatku semakin ingin muntah. Ah, akhirnya sampai juga di istanaku yang lembab, pengap dan bau busuk.

“Ibu peri! Hei ibu peri! Kalau kau memang ada! Muncullah!”, aku ingin tertawa sendiri mendengar kata-kata ini meluncur dari bibirku. Aku tidak percaya hal gaib, tapi tidak ada salahnya bukan mencari setitik harapan. Aku menunggu. 5 detik. 10 detik. 15 menit.

Baru saja aku akan membodoh-bodohi diriku sendiri karena dengan bodohnya berharap masih ada Ibu Peri di jaman seperti ini. Tiba-tiba, terdengar suara gamelan Jawa yang membuat bulu kudukku berdiri. Bukankah tadi aku memanggil Ibu Peri dan bukannya Nyi Roro Kidul?!

Sekonyong-konyongnya, aku melongo. Melihat sesosok perempuan dengan rambut yang disasak tinggi-tinggi, bermake-up tebal, dan berkebaya. Seketika pula istana bawah tanahku dipenuhi harum parfum DKNY Apple Be Delicious, persis seperti milik Diana. Tiba-tiba, suaranya menyadarkan keterngangaanku.

“Hai Cin…sori yaa telat, maklum tadi abis arisan para Ibu Peri, Cin. Anyway, by the way, busway, apa yang bisa Ibu Peri Bantu?”, tanyanya sambil mengikir kukunya. Ah, akhirnya ada sedikit harapan. “Bantu aku untuk keluar dari sini, aku sudah muak menjadi Cinderella yang ditindas. Oke Ibu Peri, layaknya di cerita Cinderella, berikan aku gaun yang indah, dan kereta kuda dan pertemukan aku dengan seorang Pangeran baik hati!”, ucapku mantap tanpa basa-basi ba-bi-bu.

Di luar dugaan, ia tertawa sejadi-jadinya. “Hahaha. Cin…cin, kamu kebanyakan denger cerita sebelum tidur ya. Itu mah basi. Hello, ini 2010 loh Cin! Oke, oke, gini aja sekarang aku akan kasih kamu sedikit keajaiban 2010.”, ucapnya.

Seketika alunan gamelan Jawa kembali terdengar. Menyeramkan. Segumpalan asap putih berkilap-kilap menyelimutiku. Dalam hati aku menggerutu. Hello, 2010 kok masih gamelan Jawa?.  Ia membuka salah satu matanya yang terpejam dan ia berkata, “Hei, aku denger loh.”

Tiba-tiba, aku sudah berada di halaman rumah dan memakai gaun seksi yang mewah layaknya koleksi para designer berkelas dunia. Dan disampingku terparkir sebuah limousine mewah, lengkap dengan seorang supir berkelas yang memperlakukanku layaknya kalangan ningrat. Dan di tanganku, sebuah undangan mewah Gala Dinner kalangan ningrat.

“Oke, gaun seksi itu dan limousine semuanya jadi 5000 US dollar.”, ucapnya sambil tersenyum. Ia seperti bisa membaca sebuah tanda tanya besar di atas kepalaku. “Hello, ini tahun 2010. Gak ada yang gratis lah!”. What! Aku melotot. Tidak pernah terlintas dalam pikiranku, aku akan bertemu dengan Ibu Peri yang matre seperti yang satu ini. “Yaa, kalo km gak sanggup saya sih bisa kasih kamu yang gratisan. Tapi yaa, saya gak jamin aja akan ada esmud yang bakalan ngelirik kamu di Gala Dinner nanti dan merubah hidup kamu.”, ia memejamkan matanya dan kembali segumpalan asap putih berkilap-kilap menyelimutiku diiringi suara alunan gamelan Jawa.

Gaun seksi nan mewah berganti menjadi gaun murahan bekas dari tumpukan baju di Pasar Poncol, Senen. Limousine beserta supir berkelas pun lenyap, berganti sepeda Bike-to-Work yang untungnya masih terlihat bagus. Seketika wajahku memanas, memerah layaknya kepiting yang dibakar hingga well done. “Kampret!”, umpatku.

Aku memutar otak dan langsung teringat satu-satunya yang tersisa dari Ayahku. Sebuah kalung mewah yang selama ini kusembunyikan dari pandangan mata keluarga tiriku. Aku menyodorkan kalung itu, ia melirik dengan dagu terangkat tinggi. Ya Tuhan, sombong sekali Tante Peri ini. Ups, maksudku Ibu Peri. “Hmm, okelah kalo begitu.”, ia menyeringai bagai serigala yang akan memangsa domba kecil yang tak berdaya. Dan seketika, kembali lagi semua kemewahan tadi. Ia tersenyum, dan menjentikkan jarinya. “Karena Ibu Peri baik hati, aku kasih kamu bonus nih, yang akan membuatmu terlihat semakin menawan di depan Sang Milyuner muda.”, ia mengedipkan matanya dan membuatku semakin jengah. Sebuah bra hitam elegan, dengan bordiran yang mewah. Sangat indah, aku sendiri terpesona melihatnya.

“Nah, sekarang pergilah. Raihlah kehidupan barumu. Mimpimu. Tapi Cin…ingat, kamu harus pulang ketika malam sedang berada di puncak kegelapannya. Jam 12 malam. Tepat di saat semua keajaiban ini akan berakhir dan sisanya biarkan takdir yang akan datang menjemputmu.”, usai mengucapkan pesan terakhirnya, Ibu Peri pun melengos pergi dengan matanya yang berbinar-binar kehijauan tak lepas sedikit pun dari kalung peninggalan Ayahku.

Tidak menyia-nyiakan waktu, aku segera masuk ke dalam limousine. Dan pak supir pun langsung membawaku ke tempat Gala Dinner berlangsung. Aku membuka rooftop, dan terlihat sinar bulan yang indah menghinotisku. Bagaikan aktris teater yang sedang berlaga, sinar bulan menyusuri lekuk tubuhku layaknya lampu sorot, mengikuti gerak tubuhku yang sedang berusaha mengenakan bra hitam tadi. Aku menangkap bayanganku sendiri di cermin. Aku terkesima. Indahnya.

Begitu tiba, aku disambut layaknya seorang putri dari keluarga ningrat. Hamparan karpet merah menghantarkanku ke ballroom tempat pesta berlangsung. Semua mata tertuju padaku. Tidak terkecuali, William, sang milyuner muda yang seperti terhipnotis dan berjalan ke arahku.

Jantungku berdegup, memompa darah ke seluruh tubuhku dengan cepat. Ya Tuhan, semoga wajahku tidak memerah. Detik-detik selanjutnya bergulir bagaikan dadu yang bergulir pasti di meja judi. Kami berbicara, kami tertawa, kami berdansa. Kami pun jatuh cinta. Ia mengajakku ke rooftop, tempat pelarian pribadinya katanya saat semua orang menaruh beban berat di pundaknya. Sinar bulan kembali menghipnotis dua insan yang tengah diguyur asmara. Kami saling terpaut, berpagutan, bergulat di antara garis tipis antara cinta dan nafsu.

Tiba-tiba, terdengar suara dentuman jam besar yang mengembalikan kewarasanku. Aku bergegas mengenakan gaunku. Dan pergi meninggalkan William. Shit! My bra!  Ah, sudahlah, aku tidak ada waktu lagi. Selamat tinggal William, semoga takdir akan membawamu menjemputku.

(picture taken from Getty Images, edited by me)

No comments:

Post a Comment